13 Feb 2023

Paradox dalam Memilih "Digital Subscription" serta dampak Psikologisnya



Hai semua.... jumpa lagi di tulisan pertama pada tahun 2023 ini. Nah kali ini saya nggak berbagi pengalaman lagi, yahh mungkin cuma mengeluarkan uneg-uneg dalam otak aja sih yang belakangan ini menjadi pikiran saya.

Saya yakin kalian semua tau bagaimana perkembangan platform digital saat ini. Kadang sungguh di luar nalar kita betapa pesatnya perkembangan teknologi. Tetapi memang kita tak boleh mengabaikan fenomena ini, malah kita harus terus maju dan berkembang dalam memanfaatkannya. Produk-produk digital yang mungkin sering kita dengar saat ini adalah "langganan digital". 
Langganan Digital atau Digital Subscription menjadi hal yang begitu populer saat ini. Kita nggak perlu membeli produk tersebut secara permanen tetapi kita hanya butuh berlangganan sesuai harga/durasi yang kita butuhkan untuk bisa memanfaatkan produk tersebut. Dari sekian banyaknya produk Digital Subscription tersebut mungkin beberapa yang populer dan sering kita gunakan yaitu DigiSub berbasis Movie atau TV Series.

Suatu ketika saya sedang istirahat, dan ingin nonton film di rumah. Otomatis saya harus langganan Netflix dulu dong supaya bisa nonton film yang saya inginkan. Saya berlangganan Netflix dan mulai berfikir, nonton apa ya enaknya?? Saya pun mulai scroll-scroll nyari film yang bermacam-macam sekali judul dan genrenya. Nah sekarang waktunya untuk membuat keputusan. Apakah saya harus nonton film A? atau film B saja? Atau mungkin nyoba film genre lain yang belum pernah saya tonton? Selagi berpikir scroll-scroll untuk mencari film, nggak terasa saya sudah membuang waktu dan saya harus segera memilih film apa yang akan saya tonton. Akhirnya saya memilih nonton Film A karena bergenre action favorit saya. Sebelum memutar film, saya berpikir untuk mengganti Filmnya karena saya rasa butuh genre lain supaya bervariasi. Lalu, saya kembali berfikir sepertinya Disney+ lebih bagus-bagus filmnya, ada film Marvel juga. Akhirnya saya switch ke Disney+ dan kembali mencari film yang ingin saya tonton dan ternyata saya kembali bingung mau nonton film apa. Karena sudah banyak waktu terbuang tanpa bisa menyelesaikan 1 Film pun, saya memutuskan untuk istirahat tidur saja. Karena terlalu banyak pilihan, saya jadi bingung pilihan mana yang tepat. Ini adalah paradox of choice.

Mengapa ini adalah suatu paradoks? Barry Schwartz, sang penulis buku yang pertama membahas konsep paradox of choice. Pada dasarnya, manusia ingin kesejahteraan. Untuk mendapatkan kesejahteraan, kita harus mempunyai kebebasan. Untuk mendapatkan kebebasan yang lebih banyak, kita harus memiliki lebih banyak pilihan. Masuk akal ya? Jika kita mempunyai banyak pilihan, pastinya kita lebih bebas dan kita akan lebih sejahtera. Nyatanya adalah bahwa pilihan yang lebih banyak nggak akan selalu membuat kita lebih sejahtera, dan pilihan yang terlalu banyak akan membawa kegelisahan.

Satu alasan kenapa terlalu banyak pilihan akan membuat kita gelisah adalah, di dalam pikiran kita, kita harus memikirkan segala alternatif  seperti apa manfaat dan kerugiannya dan membandingkannya terhadap tujuan utama kita memilih hal itu apa. Kegelisahan tersebut kadang muncul begitu saja, sampai kita lebih suka untuk nggak memilih. Menurut Barry Schwartz, inilah yang disebut paralysis atau kelumpuhan. Paralysis adalah salah satu konsekuensi dari memiliki terlalu banyak pilihan.

Contoh saja saya suka bermain game console, dan saat ini terdapat 2 program andalan dari Xbox yaitu Xbox Game Pass dan PSPlus dari Sony Playstation. Saya banyak sekali penawaran untuk memainkan banyak game yang diberikan secara "gratis" dari banyak game tersebut saya hanya memainkan kurang dari 5% nya saja. Sisanya? Ya 95% saya hanya bermain game FIFA yang memang menjadi game favorit saya. Jadi dengan banyaknya pilihan membuat saya kembali pada tujuan awal yaitu bermain game favorit dengan enjoy tanpa memikirkan hal lain. 

Jadi bagaimana dengan kalian? Apakah pernah merasakan hal yang sama? 

Terimakasih sudah berkunjung.
Terimakasih sudah membaca.
bye...
Share:
Read More